Poppi Si Angsa Emas
- Home
- Cerita Sex
- Poppi Si Angsa Emas
@momod mimin and all member.. this is one of the best story ever .. ijinkan nubie copas untuk menambah wawasan..
tribute tu Dragnansive / Ray, wherever u are
POPPI si ANGSA EMAS
Sinopsis: Kecantikan hakiki ada di dalam hati, bukan pada wajah atau
bentuk tubuh. Poppi yang semula gendut dan dicomooh banyak pemuda,
berubah menjadi primadona lalu disunting oleh seorang pria abdi ne-
gara. Sebagai sahabat karib, Ray sangat merasa kehilangan. Mereka lalu
hidup dalam dunia masing-masing. Namun akhirnya sang waktu menunjukkan
bahwa persahabatan mereka adalah yang terbaik yang pernah mereka
dapat. Persahabatan sejati kembali menyatukan mereka dalam bayang-
bayang keindahan masa lalu.
Chapter I
“Stop! Stop di sini,” serunya. Wajahnya terlihat cerah. Sepintas
kulihat, ia seperti seorang kanak-kanak yang baru diberi mainan kesu-
kaannya. Tersenyum, kuputar setir mobil, menepi dan berhenti pinggir
jalan. Gadis itu mebuka pintunya, dan tanpa menungguku, ia berlari dan
lenyap. Kulangkahkan kakiku keluar, dan menemukan sosoknya di balik
deretan pohon jati. Gadis itu berputar, melompat dan berlari kecil
sambil tertawa-tawa. Kukira mirip film India yang biasa disiarkan TV
Swasta. Geli, kuikuti langkahnya, menuju ke tengah hutan jati.
Kudapati ia tengah berjongkok di depan sebuah batang pohon mati se-
tinggi dua puluh sentimeter, kering dan menghitam.
“Sini, Ray! Sini!” panggilnya, melambaikan sebelah tangannya. Di
wajahnya, masih juga raut yang ceria. Bergegas, kuhampiri ia. Belum
seberapa dekat, gadis itu meraih pergelangan tanganku, memaksaku
berjongkok.
“Lihat,” ucapnya lirih, “di tengah batang pohon itu.”
Kupicingkan mataku, dan tersenyum saat melihat sebuah tunas tanaman
berdaun empat yang mencuat dari tengah batang pohon mati. Sedikit
terkejut aku kemudian, saat merasakan kepalanya menempel di bahuku.
Lengannya menyusup ke sela ketiakku, merangkulku dengan lembut.
“Ingatkah kamu, kamu pernah bilang sama aku, kalau di dunia ini ada
sesuatu yang bisa hidup dari kematian?”
“Pop…..,” bisikku, memanggil namanya. Sedikit rasa haru yang tak
bisa kusembunyikan, tersirat dalam nada suaraku.
“Ah, sok sendu,” mendadak gadis itu terkekeh, melepaskan pelukannya
dan bangkit berdiri. Sesaat kemudian, ia sudah berlarian lagi kesana-
kemari. Satu ketika, ia membalikkan tubuhnya menghadapku, matanya
mengerling nakal.
“Hey, Ray,” serunya, “kamu masih ingat danau kecil tempat pertama kali
kita berciuman? Di bibir?”
Aku tertawa dan mengangguk. Tanpa menungguku berdiri, gadis itu sudah
berlari. Aku tak perlu buru-buru, aku sudah tahu ke arah mana ia akan
menuju. Itu bukan danau, bisikku dalam hati. Itu hanya sebuah rawa
payau. Ah, romantisme dan imajinasi masa muda membuat segalanya tampak
indah.
Sepuluh tahun yang lalu…
Tempat yang sama. Dua anak manusia yang sama. Suasana mendung hari
itu. Semendung hati pemuda belasan tahun yang baru pertama kali menge-
cap pahitnya pengkhianatan. Ya, itulah aku. Sosok yang pathetic kala
itu. filmbokepjepang.com Menganggap semua yang ada di dunia ini sebagai satu kesialan.
Saat itu, aku tak bisa menyalahkan keperihan yang datang. Bagaimana
tidak? Aku yang berada di tengah hutan, merentangkan kedua lengan
lebar-lebar, menengadah sambil memejamkan mata ke arah langit-adalah
orang yang sehari sebelumnya percaya bahwa cinta sejati benar-benar
ada. Tentu saja sampai kutemukan pemuda itu di dalam kamarnya, dengan
hanya mengenakan kaus singlet dan celana pendek. Bekas-bekas kecupan
di leher, yang biasa kutemukan di leherku sendiri, kulihat padanya.
Sangat menyedihkan, saat aku menoleh dan melihat gadisku dalam terke-
jutnya, tak ada lain yang dikatakannya kemudian, selain `maafkan aku’.
Pertanyaan yang kuajukan ke langit saat itu, pada-Nya, adalah `apakah
benar cinta hanya akan membawa kesengsaraan’? Ataukah kesengsaraan itu
sendiri bagian dari penguatan sebuah cinta? Yang harus dihadapi,
disabari, dimengerti dan dikomunikasikan untuk pencapaian kata sepa-
kat, demi kelangsungan sang cinta?
BULLSHIT!
Yang ada setelah cinta-yang diagung-agungkan itu-hanyalah kesedihan,
isak tangis, rasa perih dalam hati.
“…dan Ray, kamu seharusnya tidak memberikan seratus persen cintamu
padanya.”
Kata-kata itulah nasihat terbaik yang kudengar sejak kejadian menya-
kitkan itu. Dan kata-kata itu keluar dari bibir si gendut Poppi.
Sahabat satu deret rumah yang selalu berbagi suka duka denganku,
bahkan sejak aku masih kanak-kanak.
-o-
Dulu, masih kuingat saat kami berdua sama-sama berperan sebagai `anak
itik buruk rupa’ di sekolah. Cemooh, sindiran, dan tatapan sinis yang
kami hadapi dengan canda dan tawa. Hanya kami berdua saat itu, tak ada
yang lain-karena memang tak ada satupun yang mau menjadikan kami
bagian dari mereka.
Orang-orang selalu tertawa saat melihat kami jalan berduaan, berbon-
cengan dengan sepeda pancal, bercanda di sudut sepi kantin. Mereka
bilang kami adalah pasangan yang `pantas’-sebuah sindiran-yang kalau-
pun dikatakan jujur, maka akan sangat salah. Sebab kami adalah sepa-
sang sahabat sejati. Hanya sekedar sahabat. Bahkan saat aku menyadari
pentingnya menjadi `sosok’ untuk dapat diterima dalam pergaulan level
atas-terima kasih pada seorang gadis yang menolakku, yang kemudian
menjadi pemicu untuk mengubah segalanya tentang diriku-dan berubah ke
arah lebih sempurna, Poppi masih tetap berada di sisiku.
Ia menyaksikan segalanya dari prosesi anak itik menjadi angsa emas. Ia
menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bagaimana `sosok-sosok pen-
ting’ satu demi satu berjatuhan di kakiku, berlutut dan memohon diriku
untuk masuk ke dalam lingkungannya. Gadis-gadis yang kemudian menye-
butku sambil memutar mata dan menyatukan jemari di depan dada-dan
bagaimana kemudian aku mempermainkan mereka satu-satu, menjilat dan
mengunyah kemaluan mereka, untuk kemudian mencampakkan dalam isak dan
tangis.
Poppi hanya akan tertawa saat menyaksikan kejadian itu, saat gadis-
gadis dengan wajah sendu dan penuh penderitaan mengemis cintanya
padaku.
“Kamu memang benar-benar luar biasa,” itu yang akan dikatakannya
padaku. Sadar, kuakui memang perubahan yang luar biasa terjadi di
diriku saat itu. Angsa emas, yang telah lahir untuk meraih apa yang
menjadi mimpinya.
Kesadaran yang membingungkan kemudian, adalah bahwa lingkungan baruku
tak pernah bisa menerima sosok Poppi di dalam mereka.
“Sampah!”
“Jelek!”
“Buruk!”
Saat Poppi perlahan menyingkir dari kehidupanku, kurasakan sesuatu
yang hilang itu. Persahabatan kami. Dan kurengkuh kembali Poppi,
meninggalkan kekecewaan di hati sahabat-sahabatku yang baru. Saat itu,
Poppi hanya tersenyum dan bertanya, “Apa kamu ngga malu kelihatan
jalan sama aku?”
“Tidak, karena persahabatan yang sejati lebih daripada segalanya.”
Tawa darinya, merupakan janji tak tertulis, bahwa perahabatan kami
akan kekal selamanya. Meskipun aku sudah menjadi seekor angsa emas,
dan Poppi masih seekor anak itik buruk rupa.
Saling membantu, saling menjunjung dan menggendong, itu yang terjadi
di hari-hari selanjutnya. Di sisi-sisi kehidupan yang paling menyakit-
kan, kami akan menyediakan tempat di hati masing-masing untuk bersama-
sama saling menghibur. Saat kakakku pergi dari rumah bersama pasangan
lesbinya, saat ayah dan ibuku memutuskan jarak dua ribu kilo untuk
menemukan perasaan berkeluarga yang nyaris lenyap, Poppi akan ada di
siiku, menghibur dan mengatakan, “Semuanya akan baik-baik saja, Ray.”
Saat ayahnya dan adik laki-lakinya tewas dalam sebuah kecelakaan
kereta api di tahun 1992, saat beberapa pemuda mencemoohnya dengan
mengatakan, “Jangan lihat-lihat kenapa sih? naksir ya? Ngaca dong!”-
aku akan menyediakan dadaku untuk tangisnya, mengelus dan mengatakan,
“Semuanya akan baik-baik saja, Pop.”
Semuanya demikian, sampai aku mengenal cintaku. Cinta yang untuk
selanjutnya akan kupandang dengan sebelah mata, dengan cibiran di
bibir dan kata-kata, “Bullshit! Ngga ada yang namanya cinta!”
Poppi lenyap begitu saja dari kehidupanku. Tak ada lagi ngobrol-ngo-
brol lewat telepon sampai jam tiga pagi, membicarakan tentang gadis-
gadis bodoh dan gossip-gossip selebritis sekolah yang sangat digemari
Poppi. Aku menjauh, saat menyadari bahwa cintaku membutuhkan lebih
banyak perhatian dari sekedar menghabiskan waktu bersama Poppi.
Sahabatku itu, ia menyadari hal itu, tak lagi menghubungiku. Dan
bodohnya, saat itu aku benar-benar merasa bahwa menjauhnya kami adalah
sebuah kewajaran. Bagaimana tidak? Aku sudah punya seorang kekasih
yang bisa mendengarkan semua keluhanku-bahkan lebih dari yang bisa
ditampung oleh Poppi. Kekasihku memelukku, mencumbuku, dan kami ber-
cinta segera setelah semua permasalahan terselesaikan. Poppi tak
menyediakan hal itu, dan kutahu aku memang takkan pernah meminta,
bahkan berharap darinya.
Dua tahun lamanya aku hidup sendiri, mencari petunjuk-petunjuk penye-
lesaian setiap permasalahanku dari diriku sendiri dan kekasihku. Tak
ada orang lain. Tak ada ayah ibu-meski mereka sudah berbaikan. Dan tak
ada Poppi.
Lalu kejadian yang membuatku menderita setiap malam tiba itu terjadi.
Betrayal. Pengkhianatan.
-o-
Kembali aku memandangnya saat itu, menikmati pepohonan di belakangnya,
yang seolah menjadi bingkai sosoknya yang terlihat begitu lama hilang
dari hidupku.
“Pop, aku ingin dipeluk dan dimaafkan,” itu yang kukatakan, yang pula
menjadi awal dari semua yang tak pernah ingin kulakukan. Poppi meme-
lukku, di tepi hutan pohon jati, di pinggir sebuah rawa payau, yang
menghijau karena lumut dan ditumbuhi enceng gondok di sekelilingnya.
Saat itulah aku menangis pertama kali, sebagai seorang pria yang patah
hati.
Poppi tak menganggap itu sebagai suatu hal yang memalukan, bahkan ia
berkata, “Ray, menangislah kalau itu perlu. Karena menangis akan
membuat beban di hati terasa lebih ringan.”
Kata-katanya, belaiannya, dan hembusan nafasnya di ubun-ubun kepalaku,
yang membuat aku menarik tubuhku dari pelukannya. Saat ia memandang
dengan tatapan kasih sayang persahabatannya, kukecup ia.
Tepat di bibirnya.
Dan bisikku padanya, “Hidupku akan dimulai dalam kematian hati….”
-o-
Chapter II
Kudapati ia tengah memandang ke arah hamparan tanah retak di bawah
kakinya. Sedikit sendu juga kala kusadari kekeringan yang membentang
itu. Seolah tiada lagi kenangan yang patut diingat akan tempat yang
dulunya terlihat sangat indah itu.
“Kering, Ray,” bisiknya. Kulangkahkan kakiku sampai di sampingnya, dan
menganggukkan kepala.
“Apa yang kamu harapkan dari tahun-tahun yang berlalu?” tanyaku.
Poppi menoleh. Ia memandangku dengan lirikan nakalnya.
“Hmmm, eternity? As a beautiful place, which existence is eternal, as
memory does,” katanya kemudian, lalu tersenyum meminta pendapatku.
“Ah,” sahutku, terkekeh sejenak, “beauty is in the eye of the behold-
er.”
Poppi menatapku, masih dengan senyuman yang sama. Tapi kutangkap
kelegaan itu dari pancaran sinar matanya. Gadis itu lalu menekuk
lututnya, berjongkok dan mengulurkan tangan, meraih segumpal tanah
kering. Kepalannya membuat kepingan tanah itu berubah menjadi serpi-
han-serpihan halus, berjatuhan di atas rumput kering.
“Kalau aku tutup mata, mungkin nggak ya, danau kecil itu kembali?”
Kudengar ia berkata, menimbulkan perasaan ingin tahu di hatiku.
“Mau mencoba?” ucapku kemudian. Poppi menoleh dan mengangguk.
Tangannya menggapai pergelangan tanganku, mengajakku berjongkok untuk
yang kedua kalinya di hutan jati itu.
“Coba, pejamkan mata. Kukira dengan kamu di sini, segalanya menjadi
lebih mudah,” katanya kemudian. Saat kutolehkan wajahku ke arahnya,
kulihat ia sudah memejamkan mata. Bibirnya meruncing ke depan, alisnya
berkerut. Tanpa sadar aku tersenyum. Poppi memiliki kedewasaan itu di
wajahnya.
Kupalingkan wajahku ke arah tanah kering, dan kupejamkan mata. Semenit
dalam kesunyian, seolah bisa kudengar kicau burung di kejauhan, desis
angin yang lembut, gemerisik daun pepohonan, bahkan hembusan nafas
kami dan degupan jantung yang berdetak santai.
“Lihat, danau itu kembali pada kita,” kudengar ia berbisik.
Dan memori itu kembali. Tanah kering yang retak, yang sudah dimakan
oleh waktu dan musim, berubah dalam proses transformasi yang lembut,
menjadi kumpulan air yang lalu membentang. Titik-titik kehijauan mulai
muncul ke permukaan, bersama tunas-tunas enceng gondok yang dengan
cepat mulai berdaun.
Kuhela nafasku. Menyadari memang, bahwa keindahan akan sebuah kenangan
akan tetap berada di hati yang mengalaminya, bahkan saat kenyataan tak
seindah semula.
Sampai kemudian lamunanku buyar, saat genggamannya di jemariku mengen-
cang, dan kudengar isaknya.
Tahun-tahun yang berlalu….
Tak ada kata yang terucap setelahnya, hanya sebuah dekapan yang hangat
dariku. Kata `sorry’ yang terucap kemudian, merupakan cerminan rasa
bingung dalam diriku sendiri.
Apa-apaan kamu, Ray? Poppi itu sahabatmu! Poppi itu bukan gadis yang
bisa dan akan kau permainkan sesuka hatimu-kata hatiku menjeritkan
alasan-alasan sok suci. Untuk sesaat kemudian kejujuran dalam hatiku
mengatakan yang sebenarnya… bahwa dia bukan levelmu, bahwa dia, si
itik buruk rupa, tak layak menerima kecupan dari si angsa emas.
“Kalau kamu merasa tenang dengan itu. Aku tak masalah.”
Kata-kata yang mengalir dari bibirnya membuatku malu seketika. Bagai-
mana aku bisa menghakiminya sedemikian rupa hanya dengan menatap
perbedaan fisikal antara kami, saat aku bisa merasakan ketulusan itu
dalam kata-katanya? Kukutuk hatiku dalam benak, dan kubiarkan peluk-
annya membuatku nyaman.
Ketulusan, itu yang kuperlukan untuk mengobati pengkhianatan. Dan
itulah yang kekecap kemudian saat kukecup kembali bibirnya. Pejaman
mata dan kenikmatan lahir batin. Rasa sayang yang tiada bisa terukur,
yang hanya bisa dinyatakan dalam kelembutan kehangatan yang membuat
tubuhku bergetar.
Ia menyayangiku… ia mengasihiku… ia mencintaiku….. kata hatiku
menjerit-jerit seperti orang gila. Di tengah lingkar hatiku, kemuna-
fikan dan narcisme yang kugeluti saat menjadi sosok angsa emas, berge-
lut dengan rasa dan keinginan untuk dicintai dan mencintai.
Yang terjadi selanjutnya, adalah sebuah proses transformasi lain, yang
kubentuk untuknya. Untuk Poppi. Sentuhan demi sentuhan, pelajaran demi
pelajaran. Canda tawa dan kemesraan. Kolam renang dan gym yang menjadi
tujuan setelah pulang sekolah. Pelajaran berdansa, dunia hiburan
malam, liukan-liukan yang menggandeng romantisme bersama keringat yang
mengucur. Angsa-angsa emas lain yang menawarkan bantuan dengan sukare-
la. Sebuah proses membentuk mahakarya, oleh seorang maestro sejati.
Dan Poppi mulai berubah. Perlahan tapi pasti, dengan atau tanpa disa-
darinya, ia sudah menjadi seekor angsa emas. Berat badan yang menurun
drastis, tatanan fisik yang mengagumkan, pergaulan yang mencuatkan
reputasi.
Hanya enam bulan, waktu yang dibutuhkannya untuk memperoleh pernya-
taan-pernyataan cinta dari pemuda-pemuda yang dahulu mencibir saat
melihatnya.
Hanya enam bulan pula, waktu yang kubutuhkan untuk menyadari bahwa
perubahan fisiknya membawa perubahan pula dalam caranya berpikir. Aku
tak pernah tahu, siapa yang mengenalkannya pada sosok itu. Seorang
pria dewasa, dengan atribut, pangkat dan kemewahan seorang abdi ne-
gara-sosok yang paling di-idolai wanita di jamannya. Sosok yang kemu-
dian mampu membuat Poppi berkata pada suatu hari, “Keluar? Wah, Ray,
nanti ada acara sama teman-teman. Sori ya? Besok lusa saja, oke?”
Saat itulah kusadari, bahwa aku tak lagi menemukan sosok Poppi yang
dulu sangat kuakrabi. Yang bersamaku sekarang, adalah sosok seorang
gadis populer, yang menghabiskan waktunya untuk mempertahankan apa
yang sudah dicapainya. Yang menganggapku tak lebih dari seekor lalat
pengacau, saat ia melihat masa depan yang lebih cerah di depan mata.
Kebahagiaan hubungan kami yang kudapati di hari-hari selanjutnya,
hanya pada saat salah seorang sahabatku berkata, “Gila kamu, Ray. Itu
Poppi si gendut? Kok bisa begitu, ya? Hebat memang kamu.”
Yah, pikirku, aku memang hebat. Maestro. Sang guru sendiri. Bahkan
sampai sanggup mengubah seorang gadis luar dalam. Fisik dan batin. Tak
ada seorangpun yang mampu mengetahui rasa kecewa di dalam hatiku, saat
kusadari ucapan kakak kelasku, yang sudah membantuku menjadi seekor
angsa emas.
“Orang yang ingin berubah, pasti ada jalannya. Hanya saja, jangan
sampai takabur. Merubah diri dari luar itu mudah, tapi mempertahankan
isi yang lama itu susah. Saat kamu mencapai tingkatan yang lebih
tinggi, godaan untuk mengubah pendirianmu akan sangat banyak. Itu
mengapa tak sembarang orang bisa berubah dan bertahan dalam perubahan
itu untuk jangka waktu yang lama.”
Dan di suatu taman, pada sebuah pesta kebun, ketika kulihat kupu-kupu
itu beterbangan dari satu bunga ke bunga yang lain. Aku mengerti
mengapa orang menyukai kupu-kupu dan keindahannya. Karena ulat yang
berubah menjadi kupu, tetap mengambil kehidupannya dari tanaman,
bahkan yang sesederhana bunga padang liar. Tidak mengerubungi makanan
manusia, atau dia akan ditepuk seperti seekor lalat. Ia tetap seekor
kupu-kupu, dengan kodratnya untuk mencari dari tanaman. Itu mengapa
orang bisa mencintainya sampai detik kematiannya.
Poppi meninggalkanku tepat enam bulan tiga minggu hubungan kami.
Dengan alasan ketidak cocokan, dan diriku yang dianggap terlalu menge-
kangnya.
Aku hanya angkat bahu kala itu. Lagipula aku sudah menduga semuanya,
saat seminggu sebelumnya kulihat ia bersama pria energik bertubuh
kekar itu-lengkap dengan seragam dan atribut yang diandalkannya untuk
memperoleh seluruh gadis di kota-berduaan di sebuah cofee shop plasa.
“Tapi kita tetap sahabat, kan, Ray?” begitu epilog yang ditawarkannya
padaku.
“Oh, tentu. Kapanpun kamu butuh aku, aku akan selalu ada,” sahutku
sambil tersenyum. Tulus. Saat kusadari, bahwa ketika masa-masa itu
datang, saat orang-orang menganggapnya lalat dan menepuknya jatuh, ia
akan membutuhkan seorang sahabat yang baik untuk membawanya kembali
menghidup udara dengan rasa lega. Bagaimanapun, Poppi dari awal adalah
sahabatku yang terbaik. Sejahat apapun ia kemudian, tetap kenangan
yang indah masa-masa persahabatan
itu terpatri dihatiku.
Berpelukan, kurasakan sedikit keperihan yang mengusik hatiku.
Dua hari setelah perpisahanku dengan Poppi, kutemukan cinta pertamaku
terkapar di atas tempat tidur. Wajahnya yang kusut dan senyum menye-
salnya menunjukkan padaku bahwa orang-orang telah menepuknya jatuh.
Saat kupeluk, ia merintih, menangis dan menyesali kepergiannya dariku.
Tak bisa lain kulakukan, selain menggelengkan kepala, mengelus ram-
butnya, dan mengatakan apa yang seharusnya kukatakan pada seorang
gadis yang merasa hidupnya tak bermakna lagi.
“Kamu akan baik-baik saja. Aku di sini.”
Seperti cerita-cerita roman klise, tentang memaafkan sebuah kesalahan,
dan memulai lembaran yang baru atas nama cinta-kuterima ia kembali
bersamaku. Sisi yang jauh di lubuk hatiku, sisi yang masih memendam
cinta padanya, yang tak terusik oleh emosi dan kesakitan, meyakinkan
diriku bahwa aku takkan sanggup melihat cinta pertamaku hidup dalam
cemoohan, dalam penderitaan. Saat Poppi menjalani kehidupannya, akupun
menjalani kehidupanku.
-o-
Chapter III
“Ray, mau ngga meluk aku seperti dulu?” kudengar Poppi berbisik.
Kubuka mataku, melepaskan genggaman jemarinya, dan menarik tubuhnya ke
dalam pelukanku. Isaknya membasahi kemeja yang baru kubeli sehari
sebelumnya. Ah, masa bodoh, pikirku sedikit geli-rasa yang seharusnya
tak kurasakan, seandainya aku masih memiliki kata `kesedihan’ dalam
diriku.
Kala kupeluk ia, kusadari bahwa aku tidak lagi memeluk si angsa emas
hasil karyaku, bukan lagi pinggang yang ramping, tubuh yang gemulai,
sosok yang menggairahkan. Melainkan sosok seorang wanita yang terlalu
tua di usianya yang masih sangat muda. Gumpalan-gumpalan lemak yang
berlipat di pinggangnya. Lengan yang menunjukkan sebuah perjuangan
keras menghadapi hidup susah. Rambut yang tebal dan kasar, dengan
beberapa helai rambut putih di beberapa tempat.
“Ray, kukira aku ngga bisa lagi ya mendapatkan cintamu,” bisiknya
sambil terisak, “lagipula aku sudah gembrot begini. Kamu masih gagah.
Masih keren.”
“Sssshhh,” desisku, menghentikan ucapan-ucapan pathetic-nya, “orang
tak melihat kecantikan itu dari luarnya. Orang melihat cantik dari
dalam.”
Kurasakan pundaknya berguncang. Poppi tertawa. Dalam nada tawanya
tersirat jelas kesinisannya dalam mencerna kata-kataku. Diam menyeli-
muti kami berdua. Angin kembali berhembus, kali ini lebih kencang.
Beberapa helai daun melayang dan menyapu lenganku. Setitik air yang
turun dari langit membuatku tersenyum.
“Ah, hujan?” ucapku, “Kita ngga bisa lama-lama di sini.”
Poppi menarik tubuhnya, menatapku dengan pandangan menuduh.
“Kenapa? Kamu ngga selera ya meluk aku?”
Kukerutkan alisku, merasa sedikit tak senang dituduh demikian. Orang-
orang yang seperti inilah yang membuat orang lain memandang rendah
padanya. Orang-orang tanpa rasa percaya diri, tanpa optimisme, pesimis
di segala hal.
Merasakan pandangan dan diamku, Poppi menundukkan kepalanya.
“Sori, aku ngga bermaksud berkata begitu.”
“Ngga apa-apa,” ucapku, tersenyum saat melihatnya demikian. Aku jadi
teringat pada sosok Poppi si gendut, yang menundukkan kepala, saat
mengadu padaku bahwa seorang pemuda telah menghinanya-gara-gara buku
catatan sekolah miliknya, yang dipinjamkan oleh salah seorang temannya
pada si pemuda, dimintanya kembali dengan kasar.
Kuangkat lenganku dan mengusap keningnya dengan punggung tangan,
persis juga seperti yang sering kulakukan dulu saat menghiburnya.
Sebuah tindakan tanpa kata yang seolah menyatakan `kamu cewek bodoh’.
Poppi mengangkat wajahnya dan tersenyum. Gadis itu meraih lenganku,
menempelkannya di pipi. Sesaat kemudian, kurasakan titik-titik air
berjatuhan lebih banyak.
“Aku dulu mencarimu, Ray. Dan aku kehilangan kamu,” bisiknya lirih,
dengan tanganku masih di pipinya, “kurasa aku memang layak untuk
ditinggalkan.”
“Hush,” senyumku, “aku ngga ninggalin kamu, kan? Kamu deh yang ning-
galin aku.”
Poppi melepaskan tanganku, bibirnya meruncing ke depan.
“Iya, ya? Aku yang ninggalin kamu?”
“Hahaha,” tawaku, “baiklah, aku yang ninggalin kamu. Dasar tukang
maksa.”
Poppi tersenyum, “Ngga kok. Aku yang ninggalin kamu. Dan itu sebuah
kesalahan yang terbesar yang pernah kulakukan seumur hidupku, di
samping hubunganku dengan Duta.”
Aku tak menyahut. Mungkin aku tak perlu munafik, saat kukatakan dalam
hati aku memang mengakui kesalahannya. Kesalahan yang akhirnya mem-
buatnya menjadi seekor lalat, yang kemudian membuatnya ditepuk di
sana-sini.
Seekor lalat pengacau…
Saat kubaca lagi kata demi kata yang tertulis di surat undangan itu,
aku tersenyum, sekaligus merasa kecewa. Poppi akan menikah, dengan
pemuda yang sudah merebutnya dariku. Tentu saja aku senang, hanya
sayang sekali pesta pernikahan itu dilangsungkan di Batam, sebuah
tempat yang bahkan aku sendiri tak pernah memikirkan untuk menginjak-
kan kakiku di sana. Dalam imajinasiku, terbayang sosok Poppi yang
mengenakan pakaian serba putih, berjalan diiringi bocah-bocah pembawa
keranjang bunga. Ia pasti akan kelihatan sangat cantik, pikirku.
Betapapun besar keinginanku untuk berada di sana, kurasa itu tak
memungkinkan, mengingat kesibukanku kuliah dan kerja. Sebagai balasan,
kutuliskan surat ucapan selamat padanya, mengambil alamat yang tertera
di dalam surat undangan, seiring dengan permintaan maafku, dan bahwa
aku akan membayarnya dalam sebuah kunjungan suatu saat nanti.
Aku terkenang saat-saat kami masih bersama, hingga kelulusan SMA. Dua
tahun setelahnya, tak pernah ada kabar berita dari Poppi. Akupun sudah
tak terlalu mengingatnya, bersama dengan lupaku pada cinta pertamaku-
yang akhirnya meninggalkanku lagi dengan perasaan bodoh yang tiada
taranya. Perasaan yang membawaku ke dunia yang kugeluti sekarang. Kata
Jay, sahabatku, aku hidup dalam dunia kelamin wanita. Di sana vagina,
di sini vagina. Lucu memang, tapi itulah kenyataannya. Pelampiasan-
pelampiasan kekesalan pada kenyataan hidup yang amburadul, digabungkan
dengan kemampuan seekor angsa emas.
Kupikir, mungkin kalau aku masih bersama dengan Poppi si gendut, aku
takkan seliar ini. Tapi aku memutuskan untuk takkan memikirkan kepu-
singan itu lagi saat mengirimkan suratku padanya.
Poppi sudah menjadi seorang isteri, dan aku yakin ia akan berusaha
sebaiknya untuk itu. Dalam hati aku turut berdoa, semoga si angsa emas
itu bisa memunculkan kembali sikap rendah hatinya, dan membuang cong-
kaknya, kembali ke isi yang semula, meskipun dalam kemasan baru-Poppi
si gendut.
Hari-hari berikutnya, aku kembali dalam kehidupanku yang warna-warni,
tanpa mengingat akan Poppi, bahkan tanpa mengharapkan bahwa ia akan
mengingatku.
Sampai awal Maret 2002, saat terkejutku kala menemukan sosoknya di
depan pintu rumahku. Pagi-pagi benar saat itu, sepulangku dari kencan
semalam bersama seorang gadis pegawai kantor valas. Semula kukira
salah seorang klien atau bahkan ibu RT yang memang sering protes
karena aku acap membawa gadis tak dikenal menginap semalam dua malam
di rumah.
“Halo, Ray,” sapanya sambil tersenyum kala itu. Aku pun kaget seketi-
ka. Dalam hidupku, mungkin aku pernah melupakan sosok seseorang,
apalagi yang telah mengalami perubahan, tapi tidak dalam masalah
suara.
“Po…Poppi?” tanyaku padanya, memandang tak percaya.
Itu bukan Poppi yang pernah kukenal. Bukan Poppi si gendut yang lucu
dan menggemaskan. Bukan pula Poppi si angsa emas yang molek meng-
gairahkan.
“Kaget?” tanyanya, menyeringai. Dan saat itulah kusadari bahwa ia
memang benar-benar Poppi. Seringai nakal yang tak mungkin pernah
kulupa seumur hidupku. Seringai dari salah seorang sahabat terbaikku.
Poppi.
“Pooooopppp!!!” seruku, lalu menghambur ke arahnya. Kami tertawa dan
saling berpelukan. Tak perduli aku, bahwa yang kuhadapi adalah sosok
seorang wanita bertubuh gemuk dengan wajah penuh kerutan. Yang kutahu,
yang kupeluk adalah sosok sahabatku yang lama, yang begitu kurindukan.
Bukan Poppi si angsa emas, tapi Poppi si gendut.
Beberapa saat kemudian, aku dan Poppi sudah bersenda gurau di teras
depan rumah. Aku tak bisa melepaskan pandangan mataku darinya, rasa
senang di hatiku yang tak bisa kututupi saat menyadari kehadirannya.
Sebuah kerinduan yang menyeruak.
Sampai satu ketika, aku menoleh dengan rasa ingin tahu.
“Apa, Ray? Nungguin babu sebelah?” tanya Poppi sambil nyengir.
“Hey!” seruku protes, “aku hanya ingin melihat keponakanku.”
Saat itulah kulihat rautnya berubah. Dari keceriaan, menjadi kekelaman
sendu yang tiada berbatas. Diamnya membuatku merasa kikuk. Kulihat ia
melayangkan pandangannya jauh entah kemana. Tatapan yang kosong.
“Pop?” panggilku padanya. Lalu tanpa menoleh, Poppi menggerakkan
bibirnya, mengatakan apa yang menjadi bagian tersedih dari keseluruhan
cerita ini.
-o-
Empat tahun sudah hubungan yang dijalin oleh Poppi dan Duta, sebelum
mereka menikah. Hubungan yang manis, dan bisa membuat semua orang
merasa sirik. Yang seorang adalah gadis yang jelita, dan yang seorang
lagi adalah pemuda bertubuh kekar dengan wajah cakap dan seragam
mentereng. Jarak jauh bukan masalah, selama cinta itu masih ada di
diri mereka. Kebanggaan Poppi saat pesta dansa diselenggarakan, saat
bergaul dengan sahabat-sahabatnya, saat menikmati pandangan-pandangan
iri hati dari gadis-gadis di sekelilingnya. Senyum selalu di bibirnya.
Bahagia sudah menjadi miliknya utuh.
Suatu ketika, menjelang tahun kedua hubungan mereka, Poppi menyerahkan
apa yang menjadi miliknya yang paling berharga pada Duta. Di sebuah
hotel, setelah pesta dansa usai. Kecupan demi kecupan, rayuan demi
rayuan, janji demi janji yang mengalir, membuai si gadis, menerbang-
kannya ke angkasa tanpa bisa ditahan.
Bercinta dengan pujaan hati, dambaan jiwa. Sepenuh hati, setulus
penyerahan diri yang bisa dilakukannya pada sang cinta.
Tangisan yang datang kemudian, hanyalah tangisan kebahagiaan. Duta pun
tidak menterlantarkan Poppi, dan mencintainya dengan tiada berubah.
Hubungan pun semakin manis dari hari ke hari. Adegan-adegan percumbuan
dan hubungan seksual menjadi bunga-bunga yang mewarnai taman cinta
mereka.
Suatu ketika pula, tahun ketiga hubungan mereka, Poppi hamil. Terke-
jutnya si gadis, dan kebahagiaan si pemuda, menjadi awal percekcokan.
“Aku tak mau putus kuliah. Aku tak mau terlihat buruk. Aku tak mau!
Aku masih ingin menjalani masa mudaku!” begitu seru Poppi, di tengah
isak penolakannya untuk mempertahankan sang janin yang tiada berdosa.
Sementara Duta, yang sudah berjanji mati untuk bertanggung jawab
dengan menikahi Poppi, tak bisa lain hanya menggelengkan kepala.
Cintanya, yang juga berarti kebahagiaan gadisnya, adalah satu-satunya
alasan, mengapa ia memejamkan mata dan mengangguk. Menyetujui kepu-
tusan eksekusi si janin.
Rayuan demi rayuan dari Poppi, perlahan membuat kasih sayang yang
sempat hilang dari Duta kembali pada si gadis. Hati-hari pun kembali
dengan kemanisan. Walau tanpa sesadar mereka berdua, mereka telah
memendam biang kerok yang akan terus terbawa seumur hidup mereka.
Suatu ketika, di tahun keempat hubungan mereka, lagi-lagi Poppi hamil.
Duta berkutat dalam keinginannya untuk menikahi Poppi, dan memperta-
hankan darah dagingnya. Satu sisi yang menyakitkan si pemuda, Poppi,
si selebritis dan gadis idola di kantor, masih juga berkutat untuk
mempertahankan persepsi orang-orang akan kecantikan dan kesuciannya.
Dari perkutatan yang tiada habis, akhirnya Poppi menjebol tabungannya
sendiri, dan berangkat ke pinggir kota untuk mengoret si janin tanpa
sepengetahuan Duta. Pemuda yang baru tahu
belakangan, seminggu setelahnya, hanya bisa meratap dan menyesali
nasib si jabang yang tak pernah mengecap udara dunia.
Hubungan yang merenggang membuat Duta stress berat. Pekerjaannya
semakin kacau, hingga sepuluh hari setelahnya, Duta salah menembak
buruannya. Membunuh seorang tua tak berdosa yang sedang duduk-duduk
menikmati angin sore di atas becak sumber penghidupannya. Orang-orang
membencinya. Atasan-atasan yang semula hendak mengkadernya menjadi
salah seorang penerus mulai memicingkan sebelah mata.
Duta yang malang diliburkan, dua minggu kemudian, sebuah penghakiman
yang tak seimbang, dengan alasan mengingat prestasi dan bisik-bisik
amplop di belakang layar. Dalam masa liburnya yang secara tak langsung
menjadi pencoretan atas reputasi dan masa depannya, Duta seolah gila.
Menjadi liar.
Poppi menghibur dengan segala cintanya, berusaha menenangkan dan
memperoleh kembali kasih sayang si pemuda yang terrenggut oleh sen-
takan-sentakan emosional dan tuduhan-tuduhan menyakitkan.
Suatu malam, seminggu setelah palu mahkamah militer diketuk, keributan
itu terjadi lagi.
“Semua gara gara kamu! GARA-GARA KAMU!! KAMU BIKIN AKU STRESS!”
Satu tamparan kemudian, Duta menggagahi kekasihnya dengan liar. Poppi
meronta dan merintih kesakitan. Duta yang liar, dengan bau alkohol di
hembusan nafasnya, tak perduli lagi. Mabuk, si pemuda semburkan
`celaka’ itu di rahim kekasihnya.
“Ini tidak bisa dikoret, belum dua bulan. Maaf,” begitu kata dokter
Satyo pada Poppi, setelah si gadis merasa menstruasinya terlambat
seminggu. Poppi mengerang, memohon sampai terjatuh di lantai. Namun
kata-kata yang sama tetap terucap dari sang dokter.
“Resikonya jelas, kerusakan rahim, dan incapability of breeding.”
Poppi merintih, meratapi nasibnya.
Saat Duta mengetahui hal itu, dalam keadaan sadar, si pemuda juga
menyadari kesalahannya. Satu keputusan segera dicapai, sebelum semua
orang menyadari perubahan di diri si gadis. Menikah, sebagaimana
seharusnya sejak dulu kala.
Pernikahan yang meriah. Para pejabat dan handai taulan yang berkumpul
bersama, menikmati prosesi dengan takzim dan penuh kebahagiaan. Lalu
segalanya berangsur membaik. Kandungan yang membesar, mengiringi
kembalinya Duta pada bagian yang hilang dari hidupnya. Prestasi demi
prestasi mulai digalang si pemuda kembali. Orang-orang mulai bisa
memaafkan kesalahannya. Orang-orang jahat beringsut ketakutan saat si
pemuda beraksi.
Tak ada yang sebahagia Duta. Bahkan setelah menyadari bahwa Poppi juga
mulai menerima kodratnya sebagai seorang wanita yang memberikan ketu-
runan bagi sang suami. Kehidupan rumah tangga yang harmonis.
Suatu ketika, saat kandungan sudah semakin dekat di hari H, sebuah
berita mengejutkan menjadi pencetus keluarnya momok yang mengerikan.
“INVALID? Bagaimana bisa?”
“Bisa jadi gara-gara pengoretan yang kurang sempurna,” begitu alasan
sang dokter yang memeriksa kondisi janin di dalam tubuh Poppi. Duta
hanya menganga, tak sempat ia melihat raut wajah sang isteri yang
sepucat kertas. Dan tentu saja Poppi tak bisa menceritakan bahwa
pergulatan batinnya, ketakutannya, di hari-hari pertama setelah vonis
`anak itu harus dilahirkan’ dijatuhkan oleh sang dokter-membuatnya
tanpa sadar menenggak obat-obat dan jamu `pengais rahim’.
Walau setelahnya ia berhasil meredakan egois-nya, segala sesuatu telah
terlambat… janin itu sudah mengalami mutasi.
“Jadi, sebelum terlambat, ini mau dilahirkan, atau dikeluarkan?”
Duta terduduk lemas di atas kursi. Poppi menjerit dan terguling ping-
san.
Penarikan janin yang terjadi selanjutnya, mengikutsertakan sang momok.
Proses itu tak sesempurna yang diharapkan.
Poppi, mengeluarkan bayi invalid itu dari tubuhnya.
Poppi jadi invalid, kemudian. Incapable of breeding.
Dendam roh anak yang tergugur seolah membalas dendam pada sang bunda.
“ITU SALAHMU! SALAHMU!!! KAMU… KAMU YANG SELALU MENGGUGUR SANA
MENGGUGUR SINI!!!”
Duta stress berat. Hilang sudah harapannya untuk menimang bocah lelaki
yang sehat, yang akan menjadi penerusnya membasmi kejahatan. Poppi
meraung, meratapi nasibnya.
Kebahagiaan itupun hilang. Lenyap.
Lama setelahnya, derita itu tak jua beringsut pergi. Reputasi sang
pembasmi kejahatan terus menanjak, dalam kegilaannya membasmi bersih
semua oknum tanpa belas kasihan. Mata-mata berbulu lentik mulai meli-
rik menggoda, mencemooh pada sang isteri yan invalid. Dan bukannya
Duta tak tahu akan hal itu. Pergi pagi dan pulang malam mulai dija-
laninya. Tak pernah lagi ia menyentuh Poppi di tempat tidur. Dan sang
isteri yang menderita kesedihan berat, tak bisa lagi mengontrol diri-
nya. Makan kebanyakan, tidur kebanyakan, menangis kebanyakan.
Hilanglah si angsa emas.
Hanya seekor…. lalat pengacau.
“Kamu setidaknya harus punya keturunan, baru afdol,” begitu kata sang
atasan pada Duta. Walau hanya berniat bercanda, namun Duta memendamnya
dalam hati.
Tahun kedua setelahnya.. semua cerita cinta yang manis berakhir,
dengan kepulangan Poppi ke toko kelontong kuno milik dua renta, dengan
sepucuk surat penghakiman yang menyakitkan. Kedua orang renta, menyak-
sikan kepedihan sang anak, hanya bisa geleng kepala. Dalam hati, entah
mereka bersyukur atau malah kecewa, mereka tak juga pungkiri bahwa
sejak si angsa emas kepakkan sayapnya, mereka berdua tak lebih dari
serpihan masa lalu si angsa emas yang tak layak untuk diingat. Bagai-
manapun, orang tua tetaplah orang tua, mengasihi sang anak lebih
penting daripada mengurusi rasa sakit hati.
Demikianlah, hari-hari yang berlalu. Rasa sakit dan kecewa, bercampur
momok-momok bocah tak berbentuk yang memanggil setiap malam, membuat
Poppi tak ubahnya seperti sesosok mayat hidup. Membuat orang-orang
menggelengkan kepala pilu saat menyaksikan tatapan matanya yang ko-
song, dan air mata yang menitik tanpa sadar kemudian. Bahkan gadis-
gadis kampung yang dulu sempat mencibir saat si angsa emas mengumbar
kecongkakannya, mau tak mau merasa kasihan, saat mendengar teriakan
memilukan kala malam menjelang pagi dari toko kelontong.
Hingga pada suatu siang yang mendung, saat Poppi membongkar lemari di
gudang untuk mencari botol sari kedelai. Secarik kertas menyembul dari
bawah lemari, menyita perhatiannya. Poppi berdebar, menduga-duga,
apakah kertas itu benar seperti apa yang diingatnya. Jemarinya berge-
tar, meraih ujung kertas itu.
Sebuah amplop. Poppi memejamkan mata, dan mulai menggerung, menangis
sesunggukan. Kelebat ingatan itu kembali tanpa kompromi. Tentang sosok
seorang sahabat dari masa lalu. Sosok seorang pemuda yang begitu ia
kasihi, dulu, dan yang begitu mengasihinya, entah sekarang bagaimana.
Yang sudah mengajarkannya tentang cara-cara menjadi seekor angsa emas.
Pemuda yang penuh keajaiban itu.
“Tidak…,” bisik si gadis, hendak membuang amplop itu jauh-jauh. Tapi
kerinduan yang memuncak, membuat jemarinya tanpa sadar membuka amplop.
Sebuah kertas mengkilat terjatuh dari sisi amplop yang terbuka, berpu-
tar di udara beberapa kali, untuk kemudian jatuh di atas lantai.
Menatap ke arah si gadis, sosok seorang pemuda yang menyeringai,
dengan jemari tangan kanan membentuk tanda `victory’. Di sudut kanan
atas, beberapa tulisan tangan yang masih jelas terbaca: `with love,
tender, and care’.
Poppi tersenyum di tengah isaknya. Betapa ia merindukan sosok pemuda
itu, sudah tak terbantah lagi. Hatinya merintih dalam galau. Teringat
ia betapa ia telah menyakiti si pemuda dengan pisau-pisau tajamnya.
Merenggangkan hubungan yang manis di antara mereka. Lalu memutuskannya
untuk mencari jalan sendiri.
“Ray…,” Poppi berbisik, memanggil nama yang sudah lama tak pernah
disebutkannya lagi.
“Kapanpun kamu butuh aku, aku selalu ada….,” kata-kata itu terngiang
di telinga Poppi. Si gadis mengeluh lagi: apakah aku masih pantas?
masih layak?
-o-
“…apakah aku masih pantas? Apakah aku masih layak?” begitu Poppi
menghabisi ceritanya di teras depan rumahku. Kutatap ia dengan pan-
dangan dan hati yang tersenyum simpul. Di depan mataku, kulihat ia
sudah sangat jauh dewasa, bahkan melebihi perkiraanku semula. Dari air
mata yang mengalir di pipinya, aku seolah bisa menggambarkan penderi-
taan model apa yang dialaminya selama ini. Terkadang, nasib memang
bisa membawa manusia sampai ke batas terjauh dari yang disebut pende-
ritaan batin. Hanya satu hal saja yang bisa membuat seseorang bisa
melalui segalanya dengan langkah tegap dan mantap, dengan senyum yang
mengembang di bibir-dan aku tak yakin bisa memberikan lebih pada Poppi
dari sekedar kehangatan berteman. Masa-masa profesiku sebagai seorang
`curer’ sudah berlalu. Romantisme itu sudah lama hilang dari
sisi hidupku.
“Pop……”
“Eh,” mendadak ia membalikkan wajahnya, menyeka air mata dan ter-
senyum.
“Ray, kita jalan-jalan yuk?” ucapnya padaku.
“Ke mana?” sahutku, tersenyum kala melihat perubahan di dirinya.
`Entahlah. Sejauh mungkin dari kota.”
“Hahahaha… aku jadi ingat suatu tempat, tapi, apa nggak terlalu
jauh?”
“Sejak kapan kamu kenal kata terlalu jauh?”
Aku tertawa, dan Poppi tertawa. Tawa itu pula yang membawa kami kemba-
li ke hutan jati, di perbatasan antara dua propinsi, ke rawa payau
yang sudah mengering dimakan waktu.
-o-
Chapter IV
Hujan turun semakin lebat saat kami berlarian menuju mobil. Derai tawa
keluar dari mulut kami masing-masing. Di dalam mobil, kuraih handuk
kecil di jok belakang, dan menyerahkannya pada Poppi. Gadis itu lalu
mengeringkan tubuhnya, dengan mata dan senyum yang tak lepas dariku.
Kutopang daguku dengan lengan, membalas tatapannya dengan senyum juga.
“Aku heran,” kataku kemudian, “apa yang membuat kamu bisa berpikiran
untuk menemuiku? Sori, bukan maksudku mengatakan kamu tak layak atau
sebagainya. Aku hanya penasaran saja.”
Poppi tersenyum, menyodorkan handuk di tangannya padaku.
“Entahlah. Mungkin aku hanya sekedar gambling.”
“Gambling?” tanyaku sambil menggosokkan handuk kecil di rambut.
“Hmmm. Baiklah, bukan gambling. Aku percaya, kamu pasti takkan meno-
lakku.”
“Kenapa begitu?” tanyaku menyeringai.
Tangan Poppi terangkat, jemarinya menyentuh keningku.
“Saat aku terdiam, memandangi fotomu di lantai. Aku melakukan hal yang
serupa. Menyentuh dengan ujung jari. Tahu apa yang kurasakan? Tahu apa
yang kudengar? Di benakku saat itu, wajahmu di dalam foto seolah
tampak nyata, menggenggam jariku, dan membisikkan begini: Pop, kita
adalah teman selamanya. Saat semua berpaling darimu, dan membuatmu
sakit dan menderita, teman sejati adalah satu-satunya yang tersisa,
yang masih menatap kepadamu dengan tersenyum, yang akan mengulurkan
lengannya untuk memapahmu, dan mengiringimu melalui segalanya.
Itu yang kurasakan, dan itu yang kudengar….”
Aku tak bisa mengatakan apapun. Sejujurnya, apa yang dikatakannya
memang tak salah sama sekali. Bahkan sejak dulu sampai sekarang, aku
masih mengagungkan hubungan persahabatan, daripada hubungan percin-
taan. Seperti kata orang juga, cinta bisa putus dan berakhir, namun
persahabatan yang baik kekal selamanya.
“… ternyata aku tak salah. Waktu pertama aku melihatmu di depan
pagar, kurasakan bagian-bagian yang hilang seolah mengumpul lagi. Ada
satu nih, Ray, yang mencuat keluar waktu ketemu kamu. Yang membuatku
bisa sedemikian ceria.”
“Ah? Apa?” tanyaku, tersenyum penasaran.
“Poppi si gendut,” sahutnya, menyeringai nakal.
“Hahahahaha,” tawaku dan tawanya membaur di dalam mobil.
Sesaat kemudian kupeluk ia erat-erat.
“Pop, aku selamanya temanmu,” bisikku padanya. Dan ia mengangguk.
Kulepaskan pelukanku, mendorong tubuhnya sedikit ke belakang, lalu
menempelkan jemariku di keningnya.
“Dan…. Get a life!”
Poppi tersenyum dan mengangguk.
Hari itu sudah senja di hutan jati. Hujan yang mengguyur memuat sega-
lanya tampak kabur. Kulajukan mobil pelan-pelan. Tak tahu aku, kapan
akan tiba di Surabaya. Aku pun tak ingin memikirkannya. Aku dan Poppi
punya banyak cerita masa lalu untuk dikenang. Tentang teman-teman masa
kecil. Tentang sekolah dan guru-guru. Tentang gadis-gadis yang sudah
ku-ombang-ambingkan. Tentang pemuda-pemuda yang bertekuk lutut di kaki
Poppi dan mengemis cintanya. Dan tentang kami berdua.
Dalam hatiku, kuakui Poppi bukan lagi si angsa emas yang penuh pesona,
bukan pula Poppi si gendut yang rendah diri. Poppi, adalah satu dari
sekian banyak gadis yang memperoleh pelajaran berharga dari sang
mahaguru: pengalaman.
Saat ia menganggukkan kepalanya, berjanji tanpa kata-kata untuk mene-
ruskan kisah hidupnya, apapun yang terjadi, kusadari satu hal… dia
sudah menjadi sosok seorang gadis perkasa. Supergirl.
“Hey, Ray, mengapa kamu tak pernah mengajakku bercinta?” tanya Poppi,
mengejutkanku. Bengong, sejenak aku tak tahu harus menjawab apa.
“Eh, begini, anggap saja aku seorang pemuda yang luar biasa baiknya.”
“Hihihi.”
*smile*
salam untuk cinta, dimanapun kalian berada,,,,,,,,,,,,,,